‘Recovery’ Ekonomi Diprediksi Mulai Kuartal Akhir 2020 dan Diakselerasi 2021.
Ekonomi
Rabu, 15 April 2020Ina Parliament Jakarta :Recovery ekonomi akan bisa berjalan paling tidak mulai kuartal terakhir tahun 2020 dan akselerasinya dilakukan di tahun 2021. Hal tersebut diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati (SMI), usai Sidang Kabinet Paripurna (SKP), Selasa (14/4). “Pertumbuhan ekonomi kita untuk kuartal kedua dan ketiga ini tekanannya akan sangat berat. Pada skenario kita yang berat itu ada di titik mendekati 0. Dan kalau untuk kuartal keduanya itu akan mendekati 0 atau bahkan mungkin bisa negatif. Namun di kuartal ketiga kita harapkan sudah mulai recovery,” ujar Menkeu. Kalau agak lama, Menkeu sampaikan skenarionya memang kuartal kedua dan tiga kemungkinan tekanannya sangat besar, yaitu pertumbuhan bisa mendekati 0 dan 1,5 atau negatif di minus 2 persen dan diharapkan recovery sudah mulai pada kuartal terakhir tahun ini serta momentum ini akan terus diakselerasi di tahun 2021. Untuk 2021 range-nya, menurut Menkeu, pemulihan adalah antara 5,5 hingga 4,5 sehingga masih akan dilihat karena hari ini masih harus melihat situasi di kuartal kedua ini dan kecepatan untuk penanganan Covid-19. “Jadi hari-hari ini pun kalau kita membuat proyeksi, kita masih banyak sekali catatan. Namun tadi path-nya kita berharap kuartal ketiga dan kemudian akselerasinya di kuartal keempat, terutama pemulihan sudah bisa terlihat lebih indikasinya,” kata Menkeu. Dengan implikasi naiknya jumlah kemiskinan dan pengangguran, Menkeu sampaikan langkah dalam jangka pendek, menengah, dan panjang tidak bisa dilepaskan. “Jangka pendek seperti yang disampaikan oleh berbagai menteri, instruksi Bapak Presiden, pertama Kartu Prakerja kita naikkan dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun, itu bisa 5,6 juta masyarakat yang terdampak PHK ini bisa diabsorb,” urai Menkeu. Hal ini, sambung Menkeu, belum termasuk BPJS Tenaga Kerja yang masih memiliki juga uang iuran dari perusahaan yang bisa dipakai untuk memberikan benefit kepada para masyarakat yang terkena PHK, jadi dalam hal ini safety net-nya untuk para pekerja ada di situ. Untuk dana desa, menurut Menkeu, Kementerian PUPR dan kementerian/lembaga yang memiliki anggaran diminta untuk melakukan apa yang disebut cash for work atau proyek-proyek padat karya (tunai), utamanya tadi dari Menteri PUPR. “Menteri PUPR dalam hal ini melakukan peningkatan bagi alokasinya dari sisi untuk menciptakan apa yang disebut proyek-proyek padat karya. Untuk sektor perumahan, kita sudah naiknya fasilitas pertama,” ujarnya. Kemudian untuk realokasi anggaran, Menkeu jelaskan bahwa dalam hal ini di dalam menciptakan beberapa proyek padat karya di 1.000 lokasi. Artinya dalam jangka pendek, Menkeu sampaikan bahwa Dana Desa yang juga kemarin selain untuk bansos juga untuk padat karya akan digunakan semua instrumen yang ada untuk bisa membuat dampak negatif akibat PHK atau pengurangan kesempatan kerja bisa di-absorb dengan mekanisme yang sekarang dilakukan. “Dalam jangka menengah (dan) panjang kita tetap fokus bagaimana memperbaiki daya tahan dari dunia usaha dan bahkan meningkatkan daya tarik dari ekonomi Indonesia,” tandas Menkeu. Ia juga mengingatkan agar jangan lupa kalau terus fokus pada reform dan menjaga dampak Covid-19 ini seminimal mungkin karena Indonesia bisa dianggap sebagai salah satu negara yang punya potensi untuk menarik investasi atau capital untuk meningkatkan dunia usaha. “Beberapa langkah seperti Jepang akan melakukan relokasi perusahaannya dari RRT ke luar atau dari negara lain, itu juga memberikan opportunity,” ujarnya. Jadi, Menkeu sampaikan akan melakukan langkah-langkah untuk membuat kondisi perekonomian tetap baik dan bisa menarik investasi atau membuat perusahaan-perusahaan tetap bertahan dalam situasi yang memang sangat berat. “Tidak ada yang tidak terkena, namun dalam hal ini yang terkena bisa bertahan dalam situasi yang sulit, itu yang kita akan terus fokuskan. Maka insentif-insentif pajak seperti yang sudah kita sampaikan akan dilakukan,” urainya. Untuk saat ini, Menkeu sampaikan masih fokus di industri manufaktur, tapi kemarin Menko Perekonomian bersama Kemenkeu sudah memutuskan untuk melakukan tambahan apa yang disebut insentif pajak ke 11 sektor lain di luar sektor manufaktur. “Ini termasuk sektor transportasi, sektor perhotelan, sektor perdagangan, sektor-sektor lain yang mendapatkan dampak. Ini yang nanti akan disampaikan,” tandasnya. Dengan insentif pajak ini, Menkeu jelaskan seperti Pasal 21 yaitu pajak karyawan, PPN yang dipercepat, pajak korporasi yang dikurangkan untuk pembayaran berkalanya 30 persen, semuanya diharapkan bisa memberikan daya tahan bagi perusahaan-perusahaan di seluruh 11 sektor yang kita anggap mendapatkan dampak yang sangat negatif dari adanya Covid-19 ini. “Dengan pemberian stimulus ini, kita harapkan kemampuan dari sektor-sektor usaha untuk bertahan bisa ditingkatkan,” katanya. Langkah lainnya dalam jangka panjang, menurut Menkeu, adalah dengan omnibus law dan berbagai reform yang dilakukan yang bertujuan supaya sektor-sektor ini bisa mampu bertahan, namun juga mampu menarik modal baru. “Ini yang nanti akan terus kita perbaiki sehingga Indonesia mampu untuk menarik kembali kegiatan ekonomi. Dan oleh karena itu kemudian kemiskinan dan pengangguran bisa terus dikembalikan pada track penurunan,” urainya. TKDD tahun 2020 mengalami penurunan, menurut Menkeu, karena memang dilakukan apa yang disebut adjustment akibat adanya penurunan penerimaan pajak. Jadi dalam hal ini, Menkeu sebutkan tadi untuk TKDD-nya tahun 2020 ini diproyeksikan terjadi penurunan karena adanya pendapatan negara yang tadi diproyeksikan akan menurun sekitar 10 persen. Di dalam Surat Edaran bersama dengan Kemendagri, Menkeu menyampaikan kepada daerah situasi pemotongan TKDD-nya itu sekitar Rp94 triliun. “Kita akan melakukan secara hati-hati berdasarkan situasi juga dari keuangan negara/APBN dan kondisi masing-masing daerah yang tadi disebutkan ada yang memiliki kapasitas fiskal bagus dan ada yang sangat kecil,” tambahnya seraya menyebut tentu dengan meng-adjustment pemotongan itu berdasarkan kapasitas masing-masing. Diakui Menkeu, Pemerintah pusat paham bahwa pemerintah daerah akan menghadapi tekanan PAD (Pendapatan Asli Daerah)-nya mungkin akan turun. Untuk Pulau Jawa, sambung Menkeu, jauh lebih tajam, yaitu PAD-nya bisa drop sampai 40 persen, kalau di luar Jawa barangkali lebih sedikit karena memang pusat dari Covid-19 itu menghantam sangat besar di DKI terutama, yang bahkan PAD-nya mungkin bisa turun sampai 50 persen dan provinsi-provinsi di Pulau Jawa, sehingga memang dilihat PAD-nya akan berbeda-beda. “Oleh karena itu tadi disampaikan untuk belanja-belanja harus disesuaikan. Tadi disampaikan untuk belanja tukin, belanja pegawai, memang ada daerah-daerah yang dalam situasi normal kemarin mereka punya pendapatan besar (dibandingkan pemerintah pusat),” jelas Menkeu. Lebih lanjut, Menkeu menyebutkan anggaran tersebut didapat dari transfer, dari PAD, kondisi baik sehingga daerah bisa membayar ASN-ASN dengan tukin yang luar biasa tinggi, namun, sekarang dalam situasi ini diharapkan untuk bisa menurunkan paling tidak sama dengan pusat. “Karena itu memang merupakan salah satu pos yang bisa dihemat tanpa menyebabkan ASN daerah itu mengalami dampak yang sangat negatif, karena tukin pusat pun sudah cukup baik,” tandas Menku. Soal realokasi dana daerah, Menkeu sampaikan untuk tetap dilakukan dari belanja barang dan belanja modal yang bahkan dalam Surat Edaran memberikan arahan (agar) dihemat sampai 50 persen untuk belanja barang dan modal. “Tentu ini akan kemudian di masing-masing APBD yang tergantung dari situasi kapasitas fiskalnya nanti kita akan lihat. Namun ini terutama untuk memberikan instruksi kepada daerah karena kita melihat kemarin sampai dengan hari ini, masih ada daerah-daerah yang masih ragu-ragu melakukan penyesuaian. Ini instruksi Bapak Presiden agar betul-betul sangat spesifik,” tandasnya. Dengan penghematan ini, Menkeu sebutkan untuk mengurangi belanja tapi belanjanya dialihkan untuk masalah kesehatan, bansos dan bantuan dunia usaha. “Dengan demikian kegotongroyongan antara pusat yang sudah menambahkan belanja untuk kesehatan, untuk bansos dan untuk membantu dunia usaha bisa ditambah lagi dengan pemerintah daerah,” . Untuk daerah-daerah tentu, Menkeu jelaskan akan melihat kembali bagaimana cara memonitornya, Pemerintah pusat memonitor, Mendagri dan Kemenkeu bersama-sama memonitor. “Apa konsekuensinya bagi yang tidak melakukan? Kita bisa melakukan penundaan untuk transfer DAU. Jadi artinya kita sekarang betul-betul sangat serius,” tandasnya. Alasan Menkeu karena Presiden hingga hari ini pun tadi menyampaikan bahwa beliau masih melihat beberapa daerah itu yang masih business as usual. “Belanja sosialnya tidak naik, belanja barangnya masih belum berubah sehingga ini semuanya seolah-olah belum sampai kepada ke daerah bahwa mereka perlu melakukan perubahan dari APBD-nya,” ujarnya. Untuk implikasi dari penyampaian bencana nasional pandemi Covid-19, Menkeu sampaikan masih bersama-sama dengan K/L lainnya dan dengan OJK akan melihat konsekuensi dari status bencana nasional ini. “Mengenai bantuan luar negeri, seluruh negara ini sekarang saling bantu membantu. Ada yang memberikan bantuan dalam bentuk in–kind dan juga Indonesia membantu dalam artian karena Indonesia itu salah satu negara penghasil APD terbesar di dunia,” tandasnya. Jadi kontrak-kontrak dengan negara-negara itu, menurut Menkeu, tetap akan dicoba penuhi tanpa harus mengorbankan kebutuhan APD kita di dalam negeri. Beberapa pembicaraan dengan Korea Selatan, sekarang dengan Jepang, menurut Menkeu, semuanya tujuannya adalah untuk bisa di satu sisi memenuhi APD di dalam negeri, namun juga di sisi lain juga bisa memenuhi kebutuhan dari negara-negara lain yang memang tidak memiliki industri untuk membangun atau membuat APD tersebut. “Juga untuk ventilator, yang kemarin diumumkan di dunia bahwa property right-nya bisa di-wave, ini berarti membuka kesempatan bagi industri-industri untuk membuat ventilator sesuai dengan spesifikasi kesehatan,” pungkas Menkeu akhiri jawaban. (Humas)
Komentar