Menko Polhukam Ajak Peserta KTT di Rusia, Perkuat Kerja Sama Keamanan Global
Hankam
Sabtu, 05 Mei 2018Ina Parliament. Sochi,
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan terjadinya perubahan pola penyebaran paham radikal dari para ektremis ISIS. Sebelumnya, pola penyebaran dilakukan secara terpusat dengan mengadakan pertemuan tertutup dengan jumlah pengikut terbatas atau ‘convergence’, kini berubah menjadi lebih tersebar dan bervariasi dengan memanfaatkan media sosial seperti Twitter, Telegram, Facebook, dan Whatsapp atau ‘divergence’. Demikian pernyataan Menko Polhukam Wiranto dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi yang membahas tentang masalah keamanan global di Sochi, Rusia, baru-baru ini.
“Mereka juga memodifikasi pola strategi dalam melancarkan serangan teror. Sebelumnya, mereka beraksi sebagai satu organisasi dalam melakukan serangan, namun kini serangan-serangan tersebut muncul dalam unit yang lebih kecil, atau bahkan atas inisiasi sendiri atau lone wolf,” kata Menko Polhukam Wiranto.
Menurut Menko Polhukam, strategi tersebut sudah semakin sering dilakukan organisasi teror untuk mengamankan jaringan serta untuk meningkatkan taktik pola serangan mereka. Selain itu, strategi dan taktik mereka didukung oleh teknologi finansial modern, dimana transaksi finansial yang dilakukan oleh organisasi teror tersebut menjadi lebih canggih dan sulit dilacak. “Dengan perkembangan teknologi ini, kita semua harus lebih bersiap dengan memperkuat kerja sama yang berkelanjutan,” kata Menko Polhukam Wiranto.
Dalam kesempatan itu, Menko Polhukam menjelaskan tentang bagaimana cara Indonesia dalam menghadapi para teroris tersebut. Sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta orang dan 85 persennya adalah muslim, serta lebih dari 300 juta orang menggunakan smartphone, dimana 132 juta penggunanya terhubung dengan internet, menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat mudah disusupi paham radikalisme dan propaganda.
Dalam menghadapi kenyataan tersebut, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah dan tindakan, tidak hanya melalui langkah hukum atau hard approach, tetapi juga dengan pendekatan secara personal atau soft approach, seperti menerapkan kebijakan untuk melakukan deradikalisasi/kontra-radikalisasi, kontra-opini, kontra-narasi, serta kontra-ideologi kepada para mantan teroris atau eks-napiter.
“Ada sekitar 600 eks-napiter yang mengikuti program deradikalisasi dan hanya 3 dari jumlah tersebut yang kembali melakukan aksi terorisme. Dan juga ada 124 eks-napiter yang telah berubah menjadi agen perdamaian yang menyampaikan pesan damai kepada publik dan orang-orang yang rentan terkena virus radikalisasi,” kata Menko Polhukam Wiranto.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga melakukan langkah kontra-narasi dengan mengajak 600 anak muda atau milenial untuk membantu pemerintah menyebarkan pesan perdamaian dan persatuan ke seluruh negeri. Langkah ini dinilai efektif karena melibatkan kreatifitas generasi muda. (Q1Q1)
Komentar