Jubir Penanganan Covid-19: Tantangan Membangun Edukasi Masyarakat untuk Tidak Menjadi Sakit dan Panik
Sosial Budaya
Sabtu, 07 Maret 2020Ina Parliament Jakarta : Inilah tantangan bersama untuk seluruh masyarakat, sehingga sekarang kekuatan besarnya adalah bagaimana bersama-sama membangun edukasi agar bisa mengendalikan diri untuk tidak menjadi sakit, bukan untuk menjadi panik dan melakukan tindakan-tindakan yang irasional, sehingga akhirnya malah merugikan banyak aspek. Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Achmad Yurianto, sebagai juru bicara terkait penanganan wabah virus korona, saat memberikan keterangan pers di Kantor Presiden, Jumat (6/3). ”Tujuan pemeriksaan virus ini sebenarnya di dalam konteks untuk merespons kedaruratan kesehatan masyarakat. Bukan di dalam konteks untuk terapi dari pasien yang kita rawat ini. Ini yang harus kita pahami. Oleh karena itu, kepanikan masyarakat sekarang tidak sejalan dengan ini,” ujar Sesditjen P2P. Beberapa masyarakat bahkan beberapa institusi, lanjut Achmad Yurianto, yang kemudian meminta pegawainya yang setelah melakukan perjalanan dari luar negeri, untuk mendapatkan surat keterangan bebas korona. Ini, menurut Sesditjen P2P, tidak perlu dan sudah dikoordinasikan bahwa indikasi seperti itu tidak ada gunanya. Ia menambahkan bahwa Surat keterangan bebas korona itu tidak ada manfaatnya, karena ini bukan penyakit yang kemudian harus dianggap masalah orang per orang, meskipun sebenarnya ada, tapi besarnya adalah bagaimana mengendalikan penyebarannya di lingkungan masyarakat. ”Saat ini problem yang kita hadapi adalah seperti itu, karena gambaran besar di seluruh dunia terkait penyakit ini bisa kita lihat. Munculnya penyakit ini sekarang tidak disertai tanda-tanda klinis yang terlalu berat. Dan kemudian, lebih cenderung kepada gejala influenza sedang, bahkan beberapa ringan,” kata Yuri, panggilan akrab Achmad Yurianto. Kemudian, lanjut Yuri, ini juga berpotensi untuk semakin cepat menyebar ke berbagai negara karena memang pada umumnya orangnya tidak merasa sakit, hanya merasa sakit ringan, bukan menjadi gambaran suatu penyakit yang berat. ”Sekali lagi ini kekuatan kita, mari mengedukasi masyarakat kita untuk tidak panik. Penyakit ini bukan penyakit yang baru dalam tataran pemahaman kita, karena ini adalah penyakit influenza, hanya virus penyebabnya yang baru,” ujarnya. Hal lainnya juga, menurut Sesditjen P2P, tidak terlalu penting dianggap sebagai sesuatu yang sangat berbahaya karena kalau dilihat dari angka kematiannya juga masih di kisaran 2-3% jika dibandingkan dengan MERS atau SARS yang jauh lebih tinggi. ”Sebenarnya di dalam kultur masyarakat kita sudah tahu dan sudah mampu melaksanakan upaya pencegahannya. Karena dari zaman dulu kita sering berhadapan dengan influenza dan sebagian masyarakat kita sudah paham betul kalau sedaang influenza kurangi aktivitas fisik,” katanya. Kalau anak sekolah sedang influenza, lanjut Sesditjen P2P, biasanya dimintakan izin untuk tidak masuk sekolah, kemudian disuruh untuk istirahat, dan dilengkapi dia masker, selanjutnya diberikan makanan yang bergizi, dan terakhir diawasi. Penyikapan seperti ini, lanjut Sesditjen P2P, sudah tepat dan baik. Ia menegaskan di dalam menghadapi SARS kembali pada saat itu serta tidak kemudian menjadi panik dan seakan-akan bahwa ini akan terjadi seperti gambaran-gambaran yang ada di Wuhan beberapa waktu yang lalu. ”Yang sebagian besar gambaran yang terpatri di dalam benak mereka adalah gambaran yang tidak benar. Oleh karena itu, ini menjadi peluang bagi kita untuk bisa berperan di dalam kaitan untuk mengajak masyarakat kita bisa lebih hidup dengan baik dan sehat,” kata Sesditjen di akhir pernyataannya. (Humas)
Komentar