Home / Artikel ‘Holdingisasi’ PLTP di Bawah PGE Tidak Tepat

‘Holdingisasi’ PLTP di Bawah PGE Tidak Tepat

‘Holdingisasi’ PLTP di Bawah PGE Tidak Tepat

Politik

Sabtu, 07 Agustus 2021

Ina Parliament Jakarta  Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina menyatakan setuju dengan rencana pemerintah yang berniat untuk melakukan holdingisasi PLTP dan holding-isasi PLTU serta melanjutkannya dengan IPO. Hanya saja masih ada hal yang dianggapnya janggal, sehingga mesti dilakukan berbagai pertimbangan. Ia mengatakan, persoalan mendasarnya, perusahaan holding yang mestinya di amanatkan kepada PLN, tapi ini malah diserahkan pada Pertamina Geothermal Energy (PGE) sebagai perusahaan holding-nya.

 

"Minimal ada tiga hal kenapa bukan PGE yang mesti menjadi Holding, tapi seharusnya PLN. Pertama PGE inikan masih baru, sekitar tahun 2006 berdiri. Kekuatan manajemennya dalam menguasai bisnis dan operasional masih meragukan untuk mengemban holding," tutur Nevi dalam berita rilisnya, Jum'at (6/8/2021). Yang kedua, lanjut Nevi, pembangkit listrik panas bumi ini mahal investasinya yang mesti dijaga asetnya tetap milik pemerintah. Menurutnya, jika melakukan IPO, maka aset berharga ini akan dimiliki swasta.

 

“Yang ketiga, regulasi EBT pada RUU energi baru terbarukan (RBT) yang digodok di DPR RI masih berpolemik terutama pada  Pasal 40 ayat (1) yang berbunyi "Perusahaan listrik milik negara wajib membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari Energi Terbarukan" serta Pasal Pasal 51 ayat (4) yang berbunyi "Dalam hal harga listrik yang bersumber dari Energi Terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik perusahaan listrik milik negara, Pemerintah Pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisih harga Energi Terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau Badan Usaha tersebut," papar Nevi.

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menguraikan, proyek pengembangan lapangan panas bumi di tiga lapangan yaitu Bukit Daun (Bengkulu), Gunung Lawu dan Seulawah (Aceh), semua lapangan tersebut masih dalam tahap pemboran sumur eksplorasi dan belum sampai pada tahap produksi listrik.

 

"Dari segi pengalaman, PGE ini kurang layak untuk menjadi holding karena masih terlalu awal dan kurang pengalaman sehingga  manajemennya belum piawai dalam menghadapi berbagai persoalan bisnis dan operasional. Banyak pihak yang kahwatir dan ragu, apakah holding tenaga panas bumi ini nantinya akan lebih baik dan efisien atau tidak. Sementara PLTP yang akan diakuisisi ini telah beroperasi dan terbukti telah memberikan manfaat kepada jaringan listrik nasional," ujar Nevi.

 

Nevi menegaskan, RUU EBT, jangan sampai memuluskan jalan swasta untuk membuat pembangkit listrik dengan tenaga EBT yang sekarang ini memang harga produksinya masih di atas BPP listrik (misalnya tenaga panas bumi dan tenaga angin) dengan memanfaatkan kewajiban PLN untuk membeli listrik tersebut (skema take or pay) dan selisih biaya produksinya akan ditanggung oleh Pemerintah (subsidi EBT). BUMN dan anak BUMN seperti PLN, Geo Dipa & Indonesia Power mesti menjadi pengendali aset dan kegiatan utama untuk menjalankan semua bisnis proses Perusahaan Listrik Tenaga Panas Bumi.

 

"Fraksi kami tidak menolak holding-isasi. Tapi menolak kenapa holding ini ke PGE bukan ke PLN. Dan terkait IPO aset-aset pembangkit listrik tenaga panas bumi, Fraksi PKS sangat tegas menolak. PLTP yang sudah operasional ini seharusnya tetap menjadi milik BUMN dan listriknya menjadi hak rakyat untuk menikmatinya," tandasnya.

 

Legislator dapil Sumatera Utara II itu meminta kepada pemerintah agar menjaga etos dan semangat kerja PLN untuk terus membangun pembangkit listrik EBT baru dalam rangka meningkatkan bauran EBT nasional. Ini saatnya PLN untuk memanfaatkan tenaga solar yang sudah sangat ekonomis secara maksimal. Jangan malah merusak suasana dengan menjual aset PLTP milik BUMN yang sangat berharga itu.

 

Dikatakannya, hal yang mesti segera diperbaiki adalah  model kontrak take or pay (TOP). Dikontrak disyaratkan sekitar sekian persen dari produksi listrik dari pembangkit swasta tersebut harus dibeli PLN (take or pay). Kalau tidak dibeli maka PLN kena denda. Dengan model ini ketika permintaan masyarakat akan listrik rendah maka terpaksa  didahulukan dioperasikan pembangkit swasta agar PLN terhindar dari denda.  Menurut Nevi, model kontrak seperti ini mesti diganti dengan take and pay (TAP), dan kalau swasta tidak memenuhi kontrak juga kena denda.

 

"Tenaga listrik termasuk ke dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dan tenaga listrik juga erat kaitannya dengan pertahanan dan keamanan negara sehingga berdasarkan Pasal 77 UU Nomor 19 Tahun 2003, BUMN yang bergerak di bidang ketenagalistrikan termasuk kepada Persero yang tidak dapat diprivatisasi. Saya berharap, semua kebijakan pemerintah ini mesti berpihak kepada rakyat banyak. Hitung simulasinya mesti memasukkan komponen apa akibat buat rakyat banyak, sehingga jangan sampai nantinya ada kerugian bagi masyarakat banyak," pungkasnya. (Humas)

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar

Kontak

Head Office : Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta 10270.
Workshop : Jl. Kayumanis X no.8 Matraman Jakarta
( 021) 22986556 Fax. ( 021 ) 85905225 Hotline : 085256800088
085256800088
admin@inaparliamentmagazine.com / harling@inaparliamentmagazine.com